Senin, 16 November 2020

 MENULIS KISAH MENEBAR HIKMAH



Nyala lentera itu meredup tertiup angin malam. Sebentar, lalu menyala terang. Kedip-kedipnya sama sekali tak mengganggu jari-jemari yang sibuk menggoreskan pena ke atas kertas.
Begitu terus sepanjang malam, selama bertahun-tahun lamanya. Hingga selesailah kitab fenomenal “Tarikh Madinah Dimasqy”.
Sang penulis adalah Abu al-Qasim Ali bin al-Hasan bin Hibatullah bin Abdullah bin al-Husein al-Dimasyqi atau yang dikenal dengan Imam Ibnu Asakir, seorang ulama ahli hadis sekaligus sejarawan. Ia lahir di kota Damaskus pada tahun 499 H/1105 M.
Mengapa kitab itu fenomenal? Karena ditulis di tengah kecamuk Perang Salib. Ada yang meriwayatkan, di siang hari Imam Ibnu Asakir ikut berjihad dan di malam hari menulis kitab. Namun ada juga yang menyebutkan, ia hanya “mendampingi” Nuruddin Zanki yang memimpin pertempuran.
Apapun itu, menulis kitab di tengah kecamuk perang bukanlah hal mudah. Apalagi kitab yang berisi tentang sejarah kota Damaskus, negeri Syam, dan semua keutamannya itu ditulis sebanyak 80 jilid!
Begitu istimewanya Imam Ibnu Asakir, hingga saat wafat, Sang Pahlawan Shalahuddin Al Ayyubi yang merupakan salah satu muridnya, ikut mengurus jenazahnya.
Ketekunan para alim terdahulu dalam menulis kitab tak disangsikan lagi. Kalau di tengah kecamuk perang masih bisa menghasilkan karya yang luar biasa, apalagi dalam situasi normal.
Seperti Muḥammad Abu 'l-Farash al-Jawzī atau yang lebih dikenal Imam Al Jawzi. Konon setiap hari ia menulis tak kurang 40 lembar naskah, dan itu dilakukan konsisten sepanjang hayatnya.
Kitab pertamanya ditulis di usia 13 tahun. Disebutkan kalau rautan pena yang digunakan untuk menulis bisa digunakan untuk menyalakan perapian selama bertahun-tahun, saking banyaknya.
Tak hanya para ilmuwan yang produktif menulis kitab. Masyarakat pun haus akan ilmu. Ini ditandai dengan tingginya permintaan salinan kitab. Seperti diketahui, sebelum ditemukan mesin cetak, kitab-kitab itu disalin secara manual.
Tak tanggung-tanggung, ada yang menghargai berat salinan kitab itu dengan emas. Semisal kitab itu beratnya 1 kg, maka akan ditukar dengan emas seberat 1 kg.
Allahu akbar!
Tradisi literasi sangat lekat dengan para cendekiawan Muslim terdahulu. Memudarnya kebiasaan itu menjadi salah satu penanda mundurnya peradaban Islam.




Sebuah kehormatan bagi saya ketika dihubungi Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah, Mesir, untuk menjadi bagian dalam rangkaian Milad Muhammadiyah ke 108 sekaligus Milad Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah, Mesir, ke 18.
Sahabat, mari kita menapaktilasi jejak tradisi literasi melalui webinar “Menulis Kisah Menebar Hikmah”.
Hari/tanggal: Sabtu, 21 November 2020
Jam : 10.00 Clt (waktu Kairo) /15.00 WIB
Via Zoom (link zoom hanya dibagikan untuk peserta yang sudah mendaftar)
Pendaftaran ditutup: Kamis,19 November-2020
Kontak person pendaftaran: Hanifah wa.me/+201552472030
Barangkali kalau menulis sekadar menulis, semua bisa melakukannya. Namun menulis dengan hikmah haruslah dipelajari. Mari kita bersua, saya akan membagikan ilmunya. InsyaAllah.
Jakarta, 16/11/2020
Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com | channel Youtube: uttiek.herlambang

Jumat, 13 November 2020

 #JourneytoBaitullah

SEKEPING CINTA DARI TAMAN SURGA




Kementerian Agama (Kemenag) menyatakan adanya jamaah dari Indonesia yang positif Covid-19 di Tanah Suci saat pelaksanaan ibadah umrah masa pandemi. Hal itu disampaikan langsung oleh Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag, HM Arfi Hatim.
Arfi mengatakan, untuk gelombang pertama, ada 8 jamaah yang telah melakukan PCR/Swab test dan hasilnya positif Covid-19. Dan, untuk gelombang yang kedua ada 5 jamaah yang positif. Secara keseluruhan ada 13 jamaah yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Tanah Suci. [Republika, 122/11].
Qadarullaah wa maa syaa-a fa'ala. Takdir Allah adalah apa yang dikehendakiNya dan pasti terjadi. Semoga Allah angkat penyakitnya dan mereka semua bisa segera kembali ke Tanah Air.
Sekalipun umrah di tengah pandemi banyak tantangannya, namun merasakan kekhusukan thawaf dan sa’i adalah impian setiap Muslim di dunia.
Tujuh putaran dan tujuh perlintasan yang menghanyutkan. Tak perlu berdesak-desakan. Seakan Allah begitu dekat, mendekap erat hati kita.
Begitupun di kota Nabi. Jama’ah tak perlu berebut untuk bisa menghidu wanginya Masjid Nabawi. Bahkan, jama’ah perempuan diberi waktu hingga 15 menit di dalam Raudhah.
Ini sebuah keistimewaan yang belum pernah terjadi di abad ini. Raudhah hanya dibuka dua kali, pagi dan malam hari bagi jama’ah perempuan. Berbeda dengan jama’ah laki-laki yang waktunya lebih longgar.
Terbatasnya waktu membuat momen ke Raudhah ibarat bersiap ke medan jihad. Butuh kesiapan fisik dan mental untuk bisa membenamkan sujud di taman surga itu. Namun, hari-hari ini tak perlu lagi. Semua bisa berlama-lama menikmati setiap jengkalnya.
Saya jadi teringat buku “Berkah Madinah Penggerak Sejarah” yang dikirimkan penulisnya @edgarhamas beberapa waktu lalu.
“Mb, saya mau kirimkan buku baru saya yang akan edar. Tentang Madinah,” balasnya, begitu saya berkabar kalau mengirimkan selat Solo untuk berbuka puasa ke rumahnya.
Rencana penulisan buku itu sudah saya dengar saat berbertemu dengannya di Madinah, Desember lalu. Sebagai mahasiswa Islamic University of Madinah, saya berharap ia akan menuliskan kronik unik tentang Madinah yang belum banyak diketahui.
Dan benar saja. Saya baru tahu kalau tiang-tiang yang berada di dalam Raudhah itu menyimpan jejak sejarah.

Tiang-tiang di Raudhah yang menyimpan jejak sejarah.

Tiang yang berada di sebelah kanan mihrab adalah tempat favorit Rasulullah SAW berkumpul bersama para sahabat. Membagikan ilmu atau sekadar mendengar “curhat” mereka. Tiang itu diberi nama Al Mukhallaqah.
Di bulan Ramadhan, beda lagi posisi favorit Rasulullah SAW saat beri’tikaf. Manusia Mulia itu memilih menggelar tikarnya yang terbuat dari kulit pohon kurma di sisi paling kiri Raudhah. Posisi ini kalau sekarang paling dekat dengan makamnya.
Di belakanya, ada satu tiang yang dinamakan tiang Al Mihras atau tiang Ali bin Abi Thalib. Tiang itu merupakan tempat sahabat Ali bersandar saat ditugaskan menjaga Rasulullah SAW.
Masih di dalam Raudhah, ada satu tempat yang digunakan Rasulullah SAW untuk menerima tamu dan para diplomat dari negara lain saat melakukan kunjungan.
Di hari-hari biasa, jangankan membayangkan tiang-tiang itu posisinya di mana, bahkan sekadar bisa shalat lebih dari dua rekaat saja sudah bahagia tak terkira.
Di tengah kesulitan yang harus dilalui, termasuk tes swab berulang kali, karantina tiada henti, para tamu Allah yang diizinkan umrah di musim pandemi ini mendapat keistimewaan yang mungkin tak akan pernah terulang berabad lagi.
Luas Raudhah tak lebih dari 22x15 m. Namun energi cinta yang ada di dalamnya sungguh luar biasa. Hanya di Raudhah kita bisa merasakan sekeping cinta dari taman surga.

Jakarta, 13/11/2020
Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com | channel Youtube: uttiek.herlambang

Kamis, 12 November 2020

 KUMANDANG ADZAN DI LANGIT EROPA



Setelah menunggu hampir dua abad lamanya, akhirnya kumandang adzan terdengar dari kota Athena, Yunani. Kota yang menjadi simbol peradaban Barat di masa lalu. Negeri di mana Socrates, Aristoteles, Pythagoras, Plato, dilahirkan.
Dengan dibukanya masjid di Athena pada Selasa (3/11) lalu, menandai berakhirnya status Athena sebagai satu-satunya kota besar di Yunani yang tidak memiliki masjid.
Tak mudah mewujudkan impian itu, karena adanya pertentangan yang kuat dari gereja Ortodoks serta kelompok nasionalis.
"Athena, akhirnya akan memiliki tempat ibadah bagi penduduk Muslimnya," kata Presiden Persatuan Muslim Yunani, Naim el Gadour, seperti dilansir English Alarabiya, Rabu (4/11). [Republika, 4/11]
Zaki Sidi Mohammed ditunjuk sebagai imam besar pertama masjid berkapasitas 350 jamaah itu. Namun dalam situasi pandemi, diatur hanya 10 orang secara bergantian yang bisa shalat berjamaah.
Tak kurang sekitar 650 ribu Musim tinggal di kota Athena. Selama ini mereka melaksanakan ibadah di tempat-tempat darurat, seperti menyewa basement, gudang dan apartemen.
Tak hanya Athena, kumandang adzan juga terdengar di langit kota Shusha, Nagorno-Karabakh, yang selama ini dipersengketakan hingga menyebabkan perang antara Azerbaijan dan Armenia.

Masjid Yukhari Govhar Agha

Hampir tiga dekade lamanya masjid itu mangkrak. Banyak beredar kabar masjid-masjid yang berada di daerah yang dikuasai Armenia dibiarkan terlantar dan digunakan sebagai kandang babi.
Dilansir dari laman Anadolu Agency pada Kamis (12/11), rekaman di media sosial menunjukkan seorang tentara Azerbaijan mengumandangkan adzan di Masjid Yukhari Govhar Agha.
"Setelah 28 tahun, adzan kembali terdengar di Shusha," kata Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev saat berpidato di depan rakyatnya.
Kabar baik juga terdengar dari Masjid Sahaba di jantung pinggiran kota kelas menengah Creteil di Paris. Bukan kumandang adzan, karena masjid ini masih terus aktif digunakan, melainkan lantunan kalimat syahadat.
Masjid ini merupakan simbol pertumbuhan Islam di Prancis. Tak kurang 150 orang bersyahadat di masjid ini setiap tahunnya.
Sekalipun terus ditekan dengan berbagai sentimen negatif dan Islamphobia, namun pertumbuhan Islam di Prancis sepanjang 30 tahun terakhir naik signifikan, hampir dua kali lipat angkanya.
Seperti yang dilaporkan harian La Croix. “Setidaknya ada 10 mualaf setiap hari,” jelas Kepala Biro Agama di Kementerian Dalam Negeri, Didier Leschi. Ini berarti, tak kurang sekitar 3.600 orang bersyahadat setiap tahunnya di seluruh Prancis.
Allahu akbar!
Kalaulah sekadar membayangkan mendengar kumandang adzan di langit Eropa membuat hati kita tergetar, bagaimana rasanya mendengar kumandang adzan pertama dari tempat-tempat yang disucikan di muka bumi ini.
Tersebutlah nama sahabat Bilal bin Rabbah yang mendapat kemuliaan itu. Ia adalah manusia pertama yang mengumandangkan adzan di Masjid Nabawi atas perintah langsung dari Rasulullah SAW.
Begitupun saat peristiwa agung Fathuh Makkah. Rasulullah SAW kembali memintanya mengumandangkan adzan dari atas Ka’bah.
Hingga Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, "Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi." Maksud Juwairiyah adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.
Masyhur riwayat sepeninggal Rasulullah SAW Bilal tak sanggup lagi mengumandangkan adzan. Namun tercatat, saat khalifah Umar bin Khattab menerima kunci Baitul Maqdis dan hendak melaksanakan shalat pertama di masjid Al Aqsa, Bilal adalah muadzinnya.
Sungguh, Allah mengangkat derajat orang yang dikehendakiNya. Mantan budak berkulit hitam itu adalah orang yang mendapat kemuliaan mengumandangkan adzan pertama dari tiga masjid paling suci di muka bumi.
Hayya alash-shalah, Hayya 'alalfalaah. Marilah shalat, marilah menuju kemenangan.
Jakarta, 12/11/2020
Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com | channel Youtube: uttiek.herlambang

Rabu, 11 November 2020

 SANG IMAM DAN PENGUASA YANG MENGUSIRNYA



“Keluarkan ia dari negeri ini,” serunya geram dengan suara tertahan.
Dengan kepala tegak, Sang Imam segera menyetujui permintaan Sultan. Ia melangkah keluar dari istana dan meninggalkan negeri Syam yang dicintainya.
Di dalam istana, para penasihat berusaha membujuk Sultan untuk mencabut titahnya. Sedang di luar istana, para ulama berusaha menenangkan Sang Imam dan memintanya untuk tidak meninggalkan negeri itu.
Dengan senyum teduhnya, Sang Imam berkata pelan, “Aku akan kembali setelah Sultan meninggalkan istananya.”
Kisah perseteruan Sultan al-Malik al-Zhahir dengan Abu Zakaria bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi atau yang lebih dikenal dengan Imam Nawawi itu sangat masyhur.
Kejadian berawal dari keinginan Sultan menarik “pajak” dari rakyatnya untuk membiayai pasukan guna mengantisipasi penyerbuan tentara Mongol.
Sultan meminta para ulamanya menyetujuinya sekaligus mengeluarkan fatwa untuk melegitimasi rencana tersebut. Namun, Imam Nawawi menolaknya. Apa pasal?
“Sesungguhnya rakyat Syam sekarang sedang melarat. Kemarau panjang menyebabkan paceklik dan banyak ternak yang mati. Berat bagi mereka untuk membayar biaya perang. Mengapa tidak menggunakan sumber dana yang lain?" Tanya Sang Imam.
“Dari mana?” Bantah Sultan.
“Istana bergelimang harta. Para pejabat memakai pakaian indah dan membawa kantung emas di saku baju mereka. Gunakan dulu dana itu. Kalau ternyata tak cukup juga, baru aku akan menyetujui rencana menarik uang dari rakyat.”
Perkataan tegas penulis kitab masyhur “Riyadh al-Sholihin” itu tak ayal membuat Sultan murka, dan berbuntut pengusirannya.
Sejarah mencatat, keberanian membela kebenaran dan melawan kebathilan selalu penuh risiko. Namun, Imam kelahiran desa Nawa, yang kemudian dinisbatkan pada namanya itu, tak surut langkah.
Menyetujui keputusan yang membuat rakyat sengsara adalah sebuah kedzaliman. Ia berani pasang badan, sekalipun harus berhadapan dengan penguasa.
Bagaimana akhir kisah itu?
Seperti ucapan yang dikeluarkannya saat meninggalkan Syam, “Aku akan kembali setelah Sultan meninggalkan istananya.” Dan benar saja, tak lama setelah kejadian itu, Sultan wafat.
Imam Nawawi pun kembali ke negerinya. Mengajar di majelis-majelis ilmu, menulis kitab, dan terus menyerukan amar ma’ruf nahi munkar hingga tutup usia pada 24 Rajab 676 H.
🌼🌼🌼
Ahlan wa sahlan ya, Habibana. Selamat datang kembali ke negeri ini.

Jakarta, 11/11/2020
Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com | channel Youtube: uttiek.herlambang

Selasa, 10 November 2020

 PARA MUJAHID PENGOBAR PERANG SABIL



“Jawa harus dipisahkan dari Islam.”
Perintah yang jelas dan tegas di masa kolonial itu lalu diimplementasikan dalam karya-karya literatur yang nantinya menjadi rujukan utama penulisan sejarah Jawa.
Dimulai oleh Thomas Raffles (1781-1826) dengan bukunya History of Jawa. Lalu John Crawfurd (1783-1868) dengan bukunya History of Indian Archipelago. Dan puncaknya adalah didirikannya Institute Javanologi oleh Keraton Surakarta.
Tak main-main, framing yang dibentuk adalah Islam yang berada di Jawa adalah Islam yang sinkretisme, alias ada percampuran dengan kepercayaan lama.
“Bungkusnya” Islam, namun dalamnya bercampur dengan Hindu-Budha-animisme dan dinamisme. Studi itu dititikberatkan menggali Jawa pra Islam untuk ditampilkan sebagai wajah Jawa yang “asli”.
Dikotomi Jawa dan Islam itu sejatinya baru dimulai tahun 1830-an pasca Perang Sabil yang dikobarkan Mujahid Jawa Pangeran Diponegoro atau yang lebih dikenal sebagai Perang Jawa.
Kolonial Belanda paham betul, jangan sampai terjadi lagi kesatuan identitas antara Jawa dan Islam. Karena kesatuan identitas itulah yang menggerakkan para bangsawan, Kyai, santri dan rakyat dalam jihad fi sabilillah. Sejak zaman Patiunus hingga Diponegoro sudah terbukti kesatuan identitas itu berbahaya.
Sejarah mencatat, ketika kerajaan Padjajaran dan Blambangan membuka pelabuhan-pelabuhannya untuk menerima kapal-kapal kolonial, kerajaan-kerajaan Islam telah bersatu untuk melawannya.
Dimulai dengan 300 armada kapal dari Demak yang dipimpin oleh Pangeran Fatih Unus atau yang dikenal dengan Patiunus menyerbu Malaka.
Perjuangan itu menyatukan kerajaan Islam lainnya, Cirebon, Tuban, Palembang, Jambi, Aceh, hingga Bugis. Sekalipun perjuangan itu belum membuahkan hasil, namun serangan itu memberikan pukulan telak bagi Portugis.
Kesadaran untuk melakukan perlawanan muncul berdasar nilai-nilai Islam, persaudaraan, persamaan, kedaulatan, marwah, dan kebebasan.
Selama berabad-abad saudagar Muslim dan bangsa-bangsa lain dari berbagai belahan bumi berdagang dengan aman dan damai di Nusantara, tanpa ingin menguasai. Tiba-tiba muncul bangsa penjajah yang memaksakan kehendak, ingin menang sendiri, membunuh dan membuat kerusakan.
Di tanah Jawa, perjuangan dilanjutkan oleh Sultan Agung dan pasukannya yang menggempur Batavia. Periode berikutnya, ada Pangeran Mangkubumi yang membuat Gustaaf Willem Baron Van Imhoff terkepung di benteng Ungaran dan Kapten de Clerck tewas dalam pertempuran sengit di sungai Bogowonto.
Tak surut langkah. Para pangeran dan raja-raja sholeh inilah Mujahid yang sesungguhnya, yang terus mengobarkan perlawanan dan mengorbankan semua yang dimilikinya dalam perang Sabil. Tak hanya di tanah Jawa, namun di setiap jengkal bumi Nusantara.
Setelah periode perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro yang membangkrutkan Belanda, mereka sepenuhnya sadar tak ada pilihan, segala cara harus dilakukan untuk memisahkan identitas bangsa ini dengan Islam, supaya perlawanan serupa tak terjadi lagi di masa depan.
Siasat Belanda berhasil. Bahkan sampai mereka angkat kaki dari negeri ini, kerusakan pemikiran yang ditimbulkan tak terhenti: Islam bukan bagian dari identitas bangsa ini.
Selamat Hari Pahlawan.

Jakarta, 10/11/2020
Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com | channel Youtube: uttiek.herlambang

Senin, 09 November 2020

 PRESIDEN AMERIKA, DEKLARASI KEMERDEKAAN DAN ALQUR’AN



"Sudah waktunya untuk menyingkirkan retorika kasar, menurunkan suhu, bertemu lagi, saling mendengarkan, dan untuk membuat kemajuan, kita harus berhenti memperlakukan lawan kita sebagai musuh kita. Mereka bukan musuh kita. Mereka orang Amerika," janji Joe Biden pada pidato pertamanya usai memenangi pilpres AS di Wilmington, Delaware.
Seperti tulisan sebelumnya, hasil pemilu Amerika ditunggu dunia. Karena siapapun yang terpilih akan menentukan segala rupa. Apakah terpilihnya Biden akan membawa kebaikan bagi dunia Islam dan umat Islam? Mari kita saksikan bersama.
Namun yang pasti, terjungkalnya Donald Trump melegakan. Apapun, ia punya dosa yang tak termaafkan dengan mengakui Yarusahlaim sebagai ibukota Israel dan menginisiasi pemindahan Kedubes Amerika dari Tel Aviv ke kota di mana kiblat pertama umat Islam berada. Langkah ini lalu diikuti banyak negara.
Selain itu, ia mensponsori perjanjian yang disebut sebagai “Perjanjian Abad Ini”. Demi pundi-pundi uang yang dijanjikan, akhirnya beberapa negara Islam melakukan normalisasi hubungan dengan zionis.
Trump telah berlalu. Namun semua kedzalimannya atas setiap jengkal tanah Palestine akan kita tuntut di Yaumil Hisab kelak.
Dalam sejarah modern, Trump sebenarnya bukanlah presiden Amerika yang paling Islamphobia. Seperti diungkap Presiden Erdogan dalam beberapa kesempatan, Presiden Amerika yang paling menyimpan kebencian terhadap Islam adalah keluarga Bush.
Bapaknya, George H. W. Bush alias Bush senior adalah presiden Amerika yang mengobarkan Perang Teluk dengan mengirim pasukan tempur ke Irak medio 1990-an.
Setali tiga uang dengan bapaknya, George Walker Bush alias Bush junior meluluhlantakkan negeri-negeri Muslim, mulai dari Afghanistan hingga Irak dengan dalih memerangi terorisme setelah peristiwa 9/11.
Apakah presiden Amerika lainnya “ramah” pada Islam dan umat Islam? Ya tidak juga. Namun setidaknya, di abad modern ini mereka tidak mengirimkan pasukan perang untuk menghancurkan negeri Islam.
Entah membaca sejarah atau tidak, padahal deklarasi berdirinya negeri itu ditulis dengan semangat Alqur’an.
Kok bisa?
Sejarah mencatat, salah satu founding father Amerika, Presiden Thomas Jefferson ternyata sangat tertarik dengan nilai-nilai Islam yang terkandung dalam Alqur’an.

Thomas Jefferson

Kesetaraan, keadilan, toleransi, konsep itu ia dapatkan dari Alqur’an yang dimilikinya 11 tahun sebelum ia menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Amerika.
Pada saat kebanyakan orang Amerika takut terhadap Islam, Jefferson justru melihat Islam sebagai masa depan bangsanya. Ia mempelajari kandungan Alqur’an dan menuliskannya sebagai deklarasi negara.
Bukti-bukti sejarah itu diungkap Denise A. Spellberg, seorang guru besar sejarah dan kajian Arab di University of Texas at Austin, Amerika Serikat, dalam penelitiannya yang kemudian dibukukan dengan judul “Thomas Jefferson’s Qur’an: Islam and the Founders (2013)”.
Isi deklarasi itu sampai sekarang masih terpahat di dinding pualam Jefferson memorial. Di antaranya “…no man shall be compelled or shall otherwise suffer on account of his religious opinions or belief.”
Konon, kalimat indah itu didapat dari makna ayat “Laa Ikraaha fid Diin – tidak ada paksaan dalam beragama” [QS Al-Baqarah: 256]
Lalu ada juga kalimat, “That all men are created equal, that they are endowed by their creator with certain inalienable rights, among these are life, liberty, and the persuit of happiness.”
Yang menegaskan tentang kesetaraan manusia. Sesuatu yang telah tertulis dalam Alqur’an empat belas abad silam.
Sekalipun hingga hari ini perbedaan warna kulit tetap menjadi isu krusial di Amerika. Tidak seperti yang diimpikan Bapak Bangsanya.
Alqur’an milik Jefferson itu hingga kini masih disimpan di Perpustakaan Kongres. Kitab Suci tersebut seakan menjadi simbol dari hubungan yang kompleks antara dirinya, Amerika dengan Islam.
Bahkan kalau mau ditelisik lebih jauh lagi, berabad sebelum itu, para pelaut yang membawa kapal Columbus sampai ke benua yang sekarang bernama Amerika adalah para pelaut Muslim dari Spanyol.
Mereka yang dikenal dengan sebutan bangsa Moors atau Moriscos itu lalu menikah dengan penduduk lokal atau suku Indian dan beranak-pinak.
Keturunan mereka ini disebut Melungeon. Salah satu Melungeon yang juga menjadi founding fathers Amerika adalah Presiden Abraham Lincoln.

Abraham Lincoln

Tanpa pelaut bangsa Moors, entah kesasar sampai mana lagi kapal Columbus yang sedianya akan berlayar ke India mencari sumber rempah itu. Dan bisa jadi hari ini tak ada nama Amerika di peta bumi.

Jakarta, 9/11/2020
Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com | channel Youtube: uttiek.herlambang

Jumat, 06 November 2020

 MUSLIMAH PENOREH SEJARAH



“Saya bangga menjadi seorang Muslim dan darah Palestine yang mengalir dalam diri saya,” ucapan itu disampaikan Imam Jodeh.
Seorang perempuan Muslim berdarah Palestine yang terpilih menjadi anggota legislatif dari negara bagian Colorado dalam pemilihan umum yang baru digelar Amerika Serikat.
Hasil pemilu Amerika ditunggu dunia. Karena siapapun yang terpilih akan menentukan segala rupa. Termasuk sikap terhadap Islam dan Palestine.
Jodeh lahir di Colorado dari dua orang tua Palestine yang berimigrasi ke Amerika pada 1974. Ia akan menjadi legislator Muslim pertama dalam sejarah negara bagian.
Di sebuah wawancara dengan Arab News (31/5) ia menceritakan pengalaman masa kecilnya menjadi Muslim di Amerika.
Ia mengingat, di bulan Ramadhan ia menulis surat yang dilengkapi dengan kop surat masjid untuk guru-gurunya. Isi suratnya, "Selama 30 hari ke depan, Muslim berpuasa. Jadi jika murid Anda kelihatan kelelahan, maka Anda tahu alasannya," kenang Jodeh.
Setelah peristiwa 9/11, ia memutuskan kuliah jurusan ilmu politik. “Saya ingin membela agama saya," tegasnya.
Sebelum terjun ke dunia politik praktis, Jodeh aktif membela hak komunitas Muslim dan isu Timur Tengah. Ia juga mengajar tema konflik Palestina-Israel di Universitas Denver.
Bukan hanya Imam Jodeh Muslimah yang berhasil duduk sebagai anggota dewan. Tercatat nama Rashida Tlaib dan Ilhan Omar sebagai Muslimah yang berhasil mempertahankan jabatannya di House of Representative.
Tentu tidak mudah bagi mereka mendapatkan posisi itu. Butuh kemampuan diplomasi yang luar biasa untuk meyakinkan publik Amerika memilih seorang Muslimah. Dan mereka berhasil melakukannya.
Kemampuan diplomasi ulung juga dimiliki pahlawan perempuan Indonesia. Ia adalah Laksamana Keumalahayati. Laksamana perempuan pertama di dunia.

Laksamana Keumalahayati

Berkat kepiawaiannya ia berhasil menekan Laksamana Jacob van Neck dari Belanda untuk membayar ganti rugi kapal-kapal Aceh yang dibajak oleh Van Caerden sebesar 50 ribu Gulden.
Namun, bukan itu prestasi terhebatnya. Suatu hari pada Juni 1599, kapal Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman memasuki pelabuhan Aceh.
Pertempuran sengit tak terelakan. Laksamana Keumalahayati dan pasukan Inong Balee berhasil merangsek masuk ke atas geladak kapal de Houtman.
Dalam duel satu lawan satu di atas kapal Van Leeuw, Laksamana Keumalahayati berhasil menikam de Houtman dengan rencongnya hingga tewas.
Saya selalu membayangkan alangkah heroiknya laksamana perempuan hasil didikan sekolah militer Utsmani ini. Sendirian melawan laki-laki yang secara fisik pasti lebih besar dan kuat, namun ia berhasil memenangkan pertarungan itu.
Allahu akbar! Perempuan Aceh memang hebat.
Bicara tentang kehebatan perempuan Aceh tentu tak bisa lepas dari sosok Cut Nyak Dien. Belanda dibuat babak belur oleh pasukannya di tanah rencong.

Penangkapan Cut Nyak Dien

Hingga ia berhasil ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Selama di pengasingan, ia ditempatkan di sebuah rumah milik KH Ilyas, tak jauh dari Masjid Agung Sumedang.
Di rumah itu Cut Nyak Dien menghabiskan waktunya dengan mengajar membaca Alqur’an dan bahasa Arab. Penduduk Sumedang menyapanya dengan hormat sebagai Ibu Prabu atau Ibu Suci.
Hari ini, 6 November 1908, Cut Nyak Din menghadap RabbNya. Seorang pejuang tetaplah pejuang. Kalau di tanah kelahirannya ia bertaruh nyawa, di tanah pengasingan ia berjuang menyebarkan cahaya hidayah.
Allahummaghfirlaha warhamha wa ‘afihi wa’fu anha wakrim nuzulaha.
Jumuah Mubarak, everyone! Jangan lupa baca QS Al Kahfi.

Jakarta, 6/11/2020
Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com | channel Youtube: uttiek.herlambang